SAMAR BAYANGANMU

Oleh: Zakarias J. Helmin,-

Ditulis di tempat kediaman watu, 2 Maret 2017

Picture Taken by: Rzh.photo

Samar-Samarmu

Kali ini sepertinya kutemui lagi dirinya, orang yang selalu kurindukan, orang yang selalu kunantikan. Tiap saat dimana pun kuberada.
Bertemu diacara keluarga bukanlah hal yang baru bagi kami, setelah melewati jalan yang terjal dikelilingi oleh jurang yang curam, kami pun sanggup untuk melewatinya.

Saat itu mungkin karena suasana terlalu ramai hinggah kami tidak saling bersuah, kali ini dia datang seperti pada biasanya wajah yang anggun nan ceria itu akan masi terlihat jelas serta senyuman yang selau nempel erat pada bibir manisnya, membuat orang-orang disekitar terasa ramah padanya. Namun satu hal yang aku sesali tiap kali kubertemu dia, dirinya tak ada sepatah kata pun terucap dibalik segala aurat positifnya itu. Sementara selama ini yang aku idamkan adalah kata indah sebagai penyokong hidupku.

Dahulu dikala kami masi sering bersama hampir tak ada kisah yang tanpa ada ceritanya. Sementara sekarang setelah kami tinggal berjauhan tak akan pernah ada canda serta kata marah yang saling mengisi cerita kami.

Entah dimana dia tinggal, dia berada dimana aku tidak pernah tahu. Tetapi selalu kuyakin  bahwa dia tinggal bersamaku dalam hatiku.

Memang benar bagiku bahwa aku percaya dengan segala sesuatu yang tidak kelihatan, dan segala sesuatu yang sedang tidak bersamaku, berada di tempat aku sedang tidak berada di situ.

Walaupun sudah hampir setengah tahun lamanya aku ditinggalkan begitu saja, tanpa ada kata serta pesan dititipkan namun semenjak kepergiannya duniaku terasa hambar karena orang yang selalu mejadikanku penyemangat disetiap kutelurkan langkahku, dikalah aku galau, kesepian, nan gudah kini tertinggal bayangan samar yang selau mengintaiku.

Selama ini selalu kumencari rautnya, berjalan kesana kemari tak kutemukan pula, selalu kumenengadah untuk menyatakan kesanggupan bawa aku belum pernah pasrah menemukannya. Telinggahku hinggar bingar sensitif mendengar bunyi berharap bunyi itu adalah suara pemberi sebagai isyarat bahwa dia memnggil namaku.

Akan tetapi sampai detik ini belum pernah kutemukan rautnya, belum pernah kudengarkan lagi suaranya, semuanya tertinggal hanyalah history dilampiri wajah tersamar itu, namun juga diriku merasa sampai saat ini belum perna kumerasa lelah tuk mencarinya sebab bagaimana pun juga dia tetap ibu kandungku yang kuabadikan dalam sanubariku. Ibu yang lapuk ragahnya serta jiwanya menari-nari dalam lubukku sebagai inspirator yang abadi.

Oh iya hampir aku lupa, pernah ada cerita tentang aku dan dia, kala dimana ia sering kerumah tetangga dan selau menceritakanku tentang dimana aku akan mersa kesepian serta tidak tenag ketika dia tidak ada di rumah, sehinggah dirinya pun tidak akan pernah lama sementara bertamu. Cerita ini kudapatkan setelah lama kepergian budaku dan memang benar hal dimana dia tidak sedang bersamaku itulah yang aku rasakan.

Di sisi lain aku termasuk orang yang beruntung dari saudara-saudarku, disamping segala kemanjaan yang telah diberikan di atas ada hal lain yang lebih spesial yaitu dapat menyekolahkanku hinnga tergapai segala proses yang dapat disetarakan dengan anak orang lain. Sementara sekolah difasilitasi dengan barang-barang mewah supaya tidak ketinggalan zaman yang walaupun tidak semewah anak konglomerat, tapi itu cukup berarti, tidak terbayangi dengan segalah bayaran kucuran keringatnya. Terakhir sekai dia berikan cindra matanya berupa mendoakan kumenemukan pekerjaan sepadan dan itu terbukti setelah belum lama pulang dari perantauan lansung diterima pada salah satu lembaga yang kutempati saat ini. Setiap pagi dan sore dikontrol akan keberadaan tentang dimana, apakah aku masi sanggup atau tidak dalam melasanakan tugas tersebut, mungkin karena jawaban karena saya merasa bangga yang walaupun belum memuaskan atas hasilnya hingga dia mengamini segala usahanya itu dipangkuan sang Ilahi.

Sebelum semuanya berakhir sempat membrikanku sebuah pelajaran besar di tenga dia mengalami kesakitan fisik, bilamana saat itu kuselalu di sisinya tuk menemani dirinya dibalik rerintihan tanda bahwa beliau kuarang sanggup. Dengan tergopo-gapa kumasi sanggup bertanya akan keberadaanya, sebagai penghibur karena sudah tak tahan akan keberadaannya “ma baik-bai saja?’’ kita tahu ibu yang selau tegar, selalu menyembunyikan kepiluhan demi kebahagiaan keluarganya, tertawa di depan kita namun di tenga kesendirian menangis, “ia na saya tida kenapa-napa, kalian tenag saja”. Padahal jawaban itu jika dilihat dari keadaannya sudah sanggat sekarat, merupakan suatu kebohongan besar. Untuk apa semuanya ini jika hanya membuat penyesalan terdalam bagi saya bagi kami yang engkau tinggalin.

Di tenga kesakitannya itu Dia masi sanggup berjalan dengan hanya diselimuti baju merah bergaris-garis hitamnya disertai dengan kain tenuan hitam ala congkar bermotif punca titi untuk melunasi hutang-hutangnya tersisa tahun kemarin, demi putranya yang kini sedang bertenggerkan keluh di balik keperkasaan seorang bunda. Sementara aku pun memandangnya dari kejauhan yang hanya mampuh menggelitikan air mata pilu, tak akan mapuh berkata tuk melerai keadaan ini selain berpasrah. Saat melihat kenyataan itu sempat daya intuisiku membawa kembali kemasa dimana saya sementara dibangku pendidikan dan meminta uang sementara orang yang mencari di belakag akan terasa susah nan menyedihkan seperti ini, memang benar apa kata orang bahwa penyesalan tidak datang terlebih dahulu melainkan datang belakangan setelah semuaanya telah usai. Apa mau dikata, dapatkah kita kembali kemasa itu, masa dimana kita mejadi bos hendak merubah kembali hal yang pernah terjadi, sungguh ironis sekali jikalau bisa terjadi nasi telah menjadi bubur semetara kampung tenga terus berteriak terpaksa kita santap saja yang ada. Inilah yang kualami mau kembali tidak mungkin dan kewajiban saya menerima kenyataan kenyal ini.

Dilahirkan, dibesarkan dengan asi, dimajakan dengan kasih sayang, dibiayai segala keingginan, serta didoakan hingga memperoleh pekerjaan, tetapi apa didapat dari orang terhebat dibalik kesuksesan saya. Kata trimakasih pun masi engan tuk diucapkan apa lagi balasan keringannya tidak ada, yang ada hanyalah nisan yang selau setia menemani tidur tanpa jiwanya yang ia peroleh. Jelas ini sungguh tidak adil, kehidupan macam apa yang seperti ini.
Oh anak yang malang akan kemanakah jejakan langkahmu kedepanya, siapa lagi yang dapat membasuhimu lagi, memanjakanmu dan bercurhat beserta segala canda nan amaramu berkoalaborasi. Benteng serta prisaimu sudah runtuh dihempas badai Oktober berlalu.

Sebagai cover dalam curhatan ini kupasrahkan kepada penguasa jagat raya hendaknya masi punya rencana indah untukku. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love story

Tapak Berlalu

Antara ara Cinta dan Logika